Barking Up the Wrong Tree (#1)
Book-post series pertama saya akan membahas buku tentang kesuksesan dan fakta yang menunjukkan bahwa mungkin semua yang kita tahu tentang sukses itu kebanyakan masih salah.
Hari ini saya akan menyampaikan satu poin menarik dari buku yang sedang saya baca berjudul: Barking Up the Wrong Tree karangan Eric Barker.
Topik pertama dari buku ini berasal dari sebuah pertanyaan: apakah kita bisa sukses dengan mengikuti sistem yang sudah ada (atau yang sering disebut playing by the rules)?
Barker memulai dengan argumen bahwa valedictorian atau murid berprestasi di sekolah jarang sekali menjadi orang yang sukses mengubah dunia. Menjadi nomor satu di kelas tidak menjamin dirinya akan menjadi nomor satu di tempat kerja atau dunia nyata. Alasannya ada dua:
- Sekolah memberikan penghargaan kepada murid yang secara konsisten melakukan apa yang diperintahkan
- Sekolah lebih menghargai tipe orang yang generalis → selain matematika, murid harus dapat nilai bagus juga di pelajaran sejarah, misalnya. Pendekatan ini tidak mengarahkan ke expertise, padahal hampir semua pekerjaan menginginkan orang yang ahli di satu bidang
Sekolah punya aturan yang jelas, padahal hidup tidak demikian. Akhirnya high achievers di bidang akademik seringkali tersesat di kehidupan nyata karena harus memilih sendiri jalur yang dilalui.
Dulu sewaktu sekolah saya cukup mampu mengikuti pelajaran. Tapi karena terbiasa diarahkan, jarang sekali saya bisa membuat groundbreaking decision, khususnya di dunia kerja. Tidak sekali dua kali saya mendapati diri saya tersesat dan tidak tahu harus melakukan apa apabila tidak ada instruksi. Saat diminta membuat inovasi, saya bingung. Saya justru lebih senang ketika tugas, KPI, dan apa yang diharapkan dari saya sudah jelas.
“Sebuah penelitian terhadap lebih dari tujuh ratus milyuner Amerika menunjukkan rata-rata IPK perguruan tinggi mereka hanya 2.9 saja.”
Pertanyaannya, kalau orang-orang yang terbiasa mengikuti sistem dan ‘play by the rules’ tidak bisa mencapai puncak, jadi siapa yang bisa?
Menurut Gautam Mukunda, dalam bukunya berjudul Leadership Filtration Theory, terdapat dua jenis pemimpin. Pertama adalah pemimpin yang melewati jalur formal. Ia memulai dari bawah, mengikuti sistem yang ada, memenuhi ekspektasi atasannya sehingga mendapat promosi, menaiki tangga menuju puncak. Pemimpin ini disebut sebagai ‘filtered leaders’, pemimpin yang tersaring.
Sementara yang kedua, adalah pemimpin yang muncul tiba-tiba, yang lompat masuk lewat jendela. Pengusaha yang tidak butuh promosi jabatan, wakil presiden yang tanpa diduga harus memegang jabatan presiden, pemimpin yang muncul saat terjadi badai masalah. Winston Churchill, Abraham Lincoln, Michael Phelps, adalah beberapa contohnya. Pemimpin ini disebut 'unfiltered leaders', mereka tidak tersaring tapi tiba-tiba muncul dan menjadi pembeda.
Terkadang, groundbreaking breakthrough justru dilakukan oleh orang-orang tipe kedua.
Churchill membantu Britania Raya selama Perang Dunia II, Lincoln menghapus perbudakan di Amerika, dan Phelps memecahkan banyak rekor dunia di cabang olahraga renang.
Tipe kedua adalah jelmaan dari kalimat “out of the box”. Mereka memiliki latar belakang yang unik, melakukan hal yang tidak terduga, dan sangat sering tidak bisa diprediksi. Tapi mereka lah yang membawa perubahan dan menjadi pembeda (walaupun banyak juga perbedaan yang negatif).
“Terkadang kita menghabiskan banyak waktu untuk mencoba menjadi ‘baik’, padahal baik di sini mungkin artinya hanya menjadi rata-rata. Untuk menjadi hebat kita harus berani beda. Memang untuk menjadi beda kita akhirnya tidak mengikuti pandangan masyarakat mengenai apa yang terbaik, karena sebenarnya pun masyarakat belum tentu tahu apa yang dibutuhkan. Seringkali menjadi yang terbaik berarti menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.”
Menurut kamu, kamu adalah tipe yang mana? Untuk mengetahuinya ada dua hal yang harus dilakukan:
#1 Kenali dirimu!
Kalau kamu memang merasa lebih baik dalam hal playing by the rules, berada di kondisi dimana struktur dan aturannya sudah jelas, double down on that. Terima hal itu, pastikan jalur yang cocok untukmu, dan bekerja keraslah.
Kalau di dalam sistem kamu merasa seperti outsider yang tidak cocok, maka jangan masuk ke dunia dengan struktur yang kaku dan formal.
Cari tahu apa kelebihan yang dimiliki. Kebanyakan orang yang ahli di satu bidang, tidak bisa melakukan apa-apa di bidang lain. Dan hal itu wajar. Seorang generalis memang lebih mudah beradaptasi di segala kondisi, tapi para ahli dan spesialis lah yang seringkali dicari.
Lakukan feedback analysis. Saat akan melaksanakan project, tulis apa ekspektasimu di awal, lalu bandingkan dengan hasilnya. Seiring berjalannya waktu kamu akan tahu mana yang bisa kamu lakukan, dan mana yang tidak bisa.
#2 Pilih tempat yang tepat!
Ada sebuah perumpamaan tentang bunga dandelion dan anggrek. Dandelion itu tahan banting. Mereka bukan bunga yang cantik, tapi tanpa dirawat mereka tetap bisa tumbuh dengan baik. Mereka tahan dengan segala kondisi.
Beda halnya dengan anggrek. Kalau tidak dirawat, maka mereka akan layu dan mati. Tapi jika dirawat dengan benar, mereka tumbuh menjadi bunga yang sangat cantik.
Pemimpin ‘unfiltered’ mungkin bisa amat sangat sukses pada satu situasi yang tepat, tapi menjadi bencana di situasi lain.
“Kamu sukses karena kamu kebetulan berada di lingkungan di mana bias, kecenderungan, bakat, dan kemampuanmu selaras dengan hal-hal yang akan menghasilkan kesuksesan di lingkungan itu.”
Ketika kita bijak memilih lingkungan kita, maka kelebihan dan kekuatan kita bisa termanfaatkan.
“Identifikasi kekuatanmu dan pilih tempat yang tepat untuk menerapkannya. Kalau kamu bisa mengikuti aturan dengan baik, temukan organisasi yang selaras dengan kekuatan khasmu dan teruslah maju. Masyarakat jelas memberikan penghargaan kepada mereka yang dapat mematuhi aturan dan sistem. Orang-orang inilah yang menjaga dunia tetap tertib.
Kalau kamu merasa bukan seperti tipe itu, maka bersiaplah untuk merintis jalanmu sendiri. Ini mungkin berisiko, tapi mungkin untuk itulah kamu lahir. Manfaatkan hal yang menjadikanmu unik. Potensi kamu mencapai puncak kesuksesan—dan kebahagiaan—jika kamu mau menerima “kekurangan”-mu akan jauh lebih besar.”