Factfulness

Mengapa kita harus mengubah cara pandang kita terhadap dunia.

Factfulness
Photo by The New York Public Library / Unsplash

Ternyata kondisi aktual dunia tidak seburuk yang sering kita bayangkan.

⚡ Buku ini dalam 3 kalimat

  1. Factfulness menjelaskan sepuluh insting dramatis yang mendistorsi perspektif kita tentang dunia dan yang mencegah kita untuk melihat kondisi sebenarnya
  2. Walaupun masih banyak masalah yang harus diselesaikan, dunia sudah jauh lebih baik daripada yang kita pikirkan
  3. Sepuluh insting itu dijelaskan dengan contoh serta pengalaman pribadi penulis sehingga kita bisa lebih mudah menangkap dan menyadarinya

🎭 Kesan

Salah satu bias yang paling berkesan untuk saya adalah bagaimana kita sering membagi segala macam hal menjadi dua kelompok. Kaya dan miskin, negara berkembang dan negara maju, kita dan mereka, atau lain sebagainya. Rosling menyebutnya sebagai gap instinct; kita cenderung membagi dunia menjadi dua ekstrem dengan suatu celah buatan, “sebuah jurang ketidakadilan yang sangat besar”, berada di antaranya. Yang tidak kita sadari, kenyataan tidak terpolarisasi seperti itu. Justru sebaliknya, mayoritas berada tepat di tengah, di mana “celah” itu seharusnya ada.

Sumber: https://www.gapminder.org/topics/four-income-levels/

Apabila kita hanya membagi dunia menjadi kaya dan miskin, kita lebih cenderung berpikir siapa pun yang tidak memiliki kualitas hidup tertentu adalah "miskin". Bagi orang-orang di Level 4, kenaikan $2 atau $4 pada pendapatan mereka hampir tidak memberikan dampak apa pun dalam hidup mereka. Namun, dengan tambahan penghasilan $2, hidup secara signifikan lebih baik bagi mereka yang berada di Level 1.

Rosling menganalogikan ini seperti berdiri di puncak gedung pencakar langit. Semua bangunan di bawahnya akan terlihat pendek, apakah bangunan itu punya sepuluh atau dua puluh lantai. Itulah sebabnya dengan hanya melihat dari atas, akan sulit untuk mengukur berapa banyak kemajuan yang telah dibuat di dunia.

Tahukah kamu kalau saat ini hanya 13% jumlah orang di dunia yang hidup di level 1?

🧘🏾 Bagaimana buku ini mempengaruhi saya

  • Saya menyadari bahwa sebagai manusia kita memiliki banyak bias yang mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku sehari-hari. Menurut saya, dengan tahu atau paham apa saja bias tersebut, kita sudah satu langkah lebih baik dari diri kita sebelumnya
  • Ada yang bilang, “Walaupun kemarau 10 tahun, tapi dengan hujan sehari saja tanahnya akan basah”, atau yang lebih umum, “Karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Artinya, kita sebagai manusia memang lebih mudah menemukan kesalahan atau keburukan. Kemajuan yang terjadi secara bertahap dan pelan sulit untuk terlihat. Buku ini menunjukkan bahwa di masa sekarang, hidup kita sudah jauh lebih baik dibanding beberapa dekade ke belakang.

📝 Top 3 Quotes

  • “Saya ingin ketika orang menyadari bahwa pandangan mereka salah tentang dunia, mereka tidak merasa malu melainkan merasa takjub, terinspirasi, dan menambah keingintahuan seperti anak kecil yang melihat sirkus…”
  • “Inilah paradoksnya: gambaran dunia yang berbahaya tidak pernah disiarkan lebih efektif daripada sekarang, padahal dunia belum pernah lebih aman dibanding saat ini”
  • “Ingatlah: bisa saja sesuatu buruk, dan kemudian menjadi lebih baik”

🗒️ Rangkuman

10 naluri/insting yang mendistorsi perspektif kita:

  1. The Gap Instinct. Kecenderungan untuk membagi hal-hal menjadi dua kelompok yang berbeda dan bertentangan, dimana ada kesenjangan imajiner/imagined gap di antaranya (contoh: negara maju dan negara berkembang).
  2. The Negativity Instinct. Kecenderungan kita untuk lebih mudah melihat yang buruk daripada yang baik.
  3. The Straight Line Instinct. Kecenderungan kita untuk berasumsi bahwa garis (peningkatan atau penurunan dalam grafik) akan terus lurus/linier dan mengabaikan bahwa garis seperti itu jarang terjadi dalam dunia nyata (contoh grafik pertumbuhan tinggi bayi, kalau kenaikannya linier, dunia akan dipenuhi raksasa).
  4. The Fear Instinct. Kecenderungan kita untuk lebih memperhatikan hal-hal yang menakutkan.
  5. The Size Instinct. Kecenderungan kita untuk membesar-besarkan sesuatu di luar proporsi, atau salah menilai ukuran sesuatu (contoh: penduduk suatu negara yang overestimate mengenai jumlah imigran di negaranya).
  6. The Generalization Instinct. Kecenderungan kita untuk secara keliru mengelompokkan hal-hal atau orang-orang atau negara-negara yang sebenarnya sangat berbeda (mirip dengan stereotyping).
  7. The Destiny Instinct. Pemikiran bahwa karakteristik bawaan menentukan nasib orang, negara, agama, atau budaya; bahwa segala sesuatunya seperti adanya karena alasan yang tak terhindarkan/sudah takdir.
  8. The Single Perspective. Kecenderungan kita untuk hanya fokus pada satu penyebab atau perspektif dalam memahami dunia (misalnya fanatisme atau membentuk pandangan dunia dengan mengandalkan media saja).
  9. The Blame Instinct. Kecenderungan kita untuk langsung menyalahkan atau mencari alasan sesederhana mungkin dalam menjelaskan mengapa sesuatu yang buruk terjadi.
  10. The Urgency Instinct. Kecenderungan kita untuk mengambil tindakan sesegera mungkin dalam menghadapi bahaya yang dirasakan akan terjadi, dan dengan melakukan itu, memperkuat naluri kita yang lain.

Penjelasan

THE GAP INSTINCT

Factfulness mengenali ketika kita berbicara tentang celah/gap; ingat bahwa artinya ada gambaran dari dua kelompok yang terpisah, dengan celah di antaranya. Kenyataan seringkali tidak terpolarisasi atau hanya hitam dan putih saja. Mayoritas biasanya justru ada di tengah, di mana “celah” tersebut berada.

Untuk mengendalikan gap instinct, temukan dimana mayoritasnya.

  • Hati-hati membandingkan rata-rata → kalau kamu bisa memeriksa persebaran data, kamu bisa saja menemukan bahwa sebarannya tumpang tindih, bahkan mungkin sebenarnya tidak ada celah sama sekali.
  • Hati-hati membandingkan ekstrem → di semua kelompok, negara atau orang, pasti ada sebagian yang di atas dan sebagian di bawah. Perbedaannya terkadang sangat tidak merata dan adil. Tapi meski begitu, mayoritas biasanya berada di antara keduanya.
  • Pandangan dari atas → ingatlah bahwa pandangan kita akan terdistorsi saat melihat ke bawah dari atas. Segala sesuatu yang lain akan terlihat sama-sama pendeknya, padahal tidak demikian.

THE NEGATIVITY INSTINCT

Factfulness mengenali ketika kita mendapatkan pandangan negatif dan mengingat bahwa informasi tentang peristiwa buruk jauh lebih mungkin untuk mencapai kita. Ketika keadaan menjadi lebih baik, kita sering tidak mendengarnya. Ini memberi kita kesan yang terlalu negatif tentang dunia di sekitar kita, yang kadang sangat membuat stres.

Untuk mengendalikan negativity instinct, bersiaplah menerima kabar buruk.

  • Better and bad → berlatihlah untuk membedakan antara sebuah tingkatan (misalnya buruk/bad) dan arah perubahan (misalnya lebih baik/better). Yakinkan dirimu kalau segala sesuatunya bisa saja buruk namun berpotensi menjadi lebih baik.
  • Good news is not news (berita baik bukanlah berita) → kabar baik hampir tidak pernah ditayangkan. Jadi isi berita yang kita lihat hampir selalu buruk. Padahal bukan berarti hanya hal buruk saja yang terjadi di dunia ini.
  • Peningkatan bertahap juga bukan berita → walaupun sebuah tren berangsur-angsur membaik, tapi dengan beberapa penurunan di tengah-tengah, kamu akan lebih cenderung melihat penurunan tersebut daripada peningkatan secara keseluruhan.
  • Lebih banyak berita tidak sama dengan lebih banyak penderitaan → lebih banyak berita buruk kadang-kadang disebabkan karena paparannya yang lebih banyak, bukan dunianya yang makin tidak baik.
  • Waspadalah terhadap masa lalu yang cerah → orang sering menggemborkan pengalaman masa lalu mereka (dan negara sering mengagungkan sejarah mereka).

THE STRAIGHT-LINE INSTINCT

Factfulness mengenali asumsi garis linier/lurus dan mengingat bahwa garis seperti itu jarang terjadi dalam dunia nyata.

Untuk mengendalikan straight-line instinct, ingat bahwa kurva memiliki berbagai bentuk.

  • Jangan mengasumsikan garis lurus → banyak sekali tren tidak mengikuti garis linier. Tidak ada anak kecil yang bisa mempertahankan tingkat pertumbuhan yang dicapainya dalam enam bulan pertama (dan mana ada orang tua yang mau anaknya jadi raksasa?)

THE FEAR INSTINCT

Factfulness mengenali ketika hal-hal yang menakutkan menarik perhatian kita dan mengingat bahwa ini belum tentu yang paling berisiko. Ketakutan alami membuat kita secara sistematis melebih-lebihkan risiko.

Untuk mengendalikan fear instinct, kalkulasikan risikonya.

  • Dunia yang menakutkan: ketakutan vs kenyataan → dunia tampak lebih menakutkan daripada aslinya karena apa yang kamu dengar itu sudah diseleksi dan dipilih — baik oleh filter perhatianmu sendiri atau oleh media.
  • Risiko = bahaya x keterpaparan → besarnya risiko yang ditimbulkan oleh sesuatu kepada kamu bukan bergantung pada seberapa besar hal itu membuat kamu merasa takut, tetapi pada kombinasi dua hal: seberapa parah bahayanya dan seberapa banyak kamu terpapar?
  • Tenanglah sebelum melanjutkan → ketika kamu takut, kamu melihat dunia secara berbeda. Buatlah keputusan sesedikit mungkin sampai kepanikanmu mereda.

THE SIZE INSTINCT

Factfulness mengenali ketika sebuah angka terlihat impresif/menakjubkan (baik kecil maupun besar) dan sadar kalau kamu bisa mendapatkan kesan sebaliknya misalkan angka tersebut dibandingkan atau dibagi dengan beberapa angka lain yang relevan.

Untuk mengendalikan size instinct, bandingkan segala sesuatunya secara proporsional.

  • Bandingkan → angka besar selalu terlihat besar. Nomor tunggal bisa menyesatkan dan sudah seharusnya membuatmu curiga. Selalu cari perbandingan. Idealnya, bagi angka itu dengan sesuatu.
  • 80/20 → apakah kamu diberikan daftar yang panjang? Pilih beberapa item terbesar (80%) dan tangani lebih dahulu. Item tersebut sangat mungkin jauh lebih penting dibanding semua yang lain (20%) disatukan.
  • Bagi → jumlah dan rate dapat menceritakan kisah yang sangat berbeda. Rate lebih bermakna, terutama ketika membandingkan antara kelompok-kelompok berukuran berbeda. Secara khusus, cari rate per orang saat membandingkan antar negara atau wilayah.

THE GENERALIZATION INSTINCT

Factfulness mengenali ketika suatu kategori atau klasifikasi sedang digunakan dalam sebuah penjelasan dan mengingat bahwa kategori dapat menyesatkan. Kita tidak dapat berhenti menggeneralisasi, namun yang harus kita coba lakukan adalah menghindari generalisasi yang salah.

Untuk mengontrol generalization instinct, pertanyakan kategorimu.

  • Cari perbedaan dalam kelompok → terutama ketika kelompoknya besar, cari cara untuk membaginya menjadi kategori-kategori yang lebih kecil serta lebih tepat. Dan…
  • Cari kesamaan antar kelompok → bila kamu menemukan kesamaan mencolok antara kelompok yang berbeda, pertimbangkan apakah kategorinya relevan. Tetapi juga…
  • Cari perbedaan antar kelompok → jangan berasumsi bahwa apa yang berlaku untuk satu kelompok (misalnya kamu dan orang lain yang hidup di level 4) berlaku untuk kelompok yang lain (orang yang tidak hidup di level 4).
  • Waspada terhadap “mayoritas” → mayoritas artinya lebih dari setengah. Tanyakan apakah itu 51 persen, 99 persen, atau di antaranya.
  • Waspadalah terhadap contoh yang jelas/vivid gambaran yang jelas lebih mudah untuk diingat tetapi mungkin saja itu sebenarnya adalah pengecualian dan bukan aturan.
  • Asumsikan orang tidak bodoh → ketika sesuatu terlihat aneh, jaga rasa penasaran dan tetaplah rendah hati, lalu pikirkan "apakah ini sebuah solusi yang cerdas?”

THE DESTINY INSTINCT

Factfulness mengenali bahwa banyak hal (termasuk orang, negara, agama, dan budaya) tampak konstan hanya karena perubahan terjadi secara perlahan, dan mengingat bahwa perubahan kecil dan lambat pun secara bertahap bisa menghasilkan perubahan besar.

Untuk mengendalikan destiny instinct, ingat kalau perubahan yang lambat pun tetaplah perubahan.

  • Pantau peningkatan yang bertahap → perubahan kecil setiap tahun dapat menjadi perubahan besar selama beberapa dekade.
  • Perbarui pengetahuanmu → beberapa pengetahuan bisa menjadi kadaluarsa dengan cepat. Teknologi, negara, masyarakat, budaya, dan agama terus berubah.
  • Bicaralah dengan Kakek → kalau kamu ingin diingatkan bagaimana nilai-nilai sudah jauh berubah, bandingkan tentang nilai-nilai kakek-nenekmu dan bagaimana nilai tersebut berbeda dari nilai yang kamu pegang sekarang.
  • Kumpulkan contoh-contoh perubahan budaya → tantang gagasan bahwa budaya hari ini harus sama dengan budaya kemarin, dan juga akan tetap menjadi budaya di esok hari.

THE SINGLE PERSPECTIVE INSTINCT

Factfulness mengenali bahwa satu perspektif bisa membatasi imajinasimu dan mengingat bahwa lebih baik melihat masalah dari berbagai sudut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih akurat dan menemukan solusi praktis.

Untuk mengontrol single perspective instinct, ambil kotak peralatan, bukan hanya palu.

  • Uji idemu → jangan cuma mengumpulkan bukti yang menunjukkan betapa bagusnya idemu. Justru mintalah orang-orang yang tidak setuju denganmu untuk menguji ide-ide serta menemukan kelemahan dari pemikiranmu.
  • Keahlian terbatas → jangan mengklaim keahlian di luar bidangmu: rendah hatilah tentang apa yang tidak kamu ketahui. Sadarilah juga batas-batas keahlian orang lain.
  • Palu dan paku → kalau kamu mahir menggunakan alat, kamu mungkin ingin menggunakannya sesering mungkin. Apabila kamu sudah menganalisis suatu masalah secara mendalam, bisa jadi kamu akan membesar-besarkan pentingnya masalah itu atau solusi yang kamu berikan. Ingatlah bahwa tidak ada satu pun alat yang baik untuk semua hal. Jika ide favoritmu adalah palu, cari rekan kerja dengan obeng, kunci pas, dan pita pengukur. Terbukalah untuk ide-ide dari yang lain.
  • Angka, tetapi jangan cuma angka → dunia tidak bisa dipahami tanpa angka dan tidak bisa dipahami dengan angka saja. Pakailah angka untuk apa yang bisa diceritakannya padamu mengenai kehidupan nyata.
  • Waspadalah terhadap ide-ide sederhana dan solusi sederhana → sejarah penuh dengan visioner yang menggunakan visi utopis sederhana untuk membenarkan tindakan yang mengerikan. Sambutlah kompleksitas. Kombinasikan ide. Kompromi. Pecahkan masalah berdasarkan kasus per kasus.

THE BLAME INSTINCT

Factfulness mengenali ketika kita mencari kambing hitam dan mengingat bahwa menyalahkan seseorang sering kali mengalihkan fokus dari penjelasan lain yang lebih mungkin dan menghalangi kemampuan kita untuk mencegah masalah serupa terjadi di masa depan.

Untuk mengendalikan blame instinct, jangan mencari kambing hitam.

  • Cari penyebab, bukan penjahat → ketika terjadi kesalahan, jangan mencari individu atau kelompok untuk disalahkan. Terimalah bahwa hal-hal buruk dapat terjadi tanpa ada yang menginginkannya. Lebih baik mengalokasikan energi untuk memahami berbagai penyebab yang saling berinteraksi, atau sistem yang menciptakan situasi tersebut.
  • Carilah sistem, bukan pahlawan → ketika seseorang mengklaim telah menyebabkan sesuatu hal yang baik, tanyakan apakah hasilnya mungkin tetap terjadi walaupun orang itu tidak melakukan apa pun.

THE URGENCY INSTINCT

Factfulness mengenali ketika sebuah keputusan terasa mendesak dan mengingat bahwa sebenarnya itu jarang terjadi.

Untuk mengendalikan urgency instinct, ambil langkah-langkah kecil.

  • Tarik napas → saat insting urgensi terpicu, instingmu yang lain akan muncul dan analisismu terhenti. Mintalah tambahan waktu dan informasi. Kondisi sekarang atau tidak sama sekali (now or never) jarang terjadi.
  • Bersikeras pada data → suatu hal yang mendesak dan penting harus diukur. Waspadalah terhadap data yang relevan tetapi tidak akurat, atau akurat tetapi tidak relevan. Hanya data yang relevan dan akurat yang bermanfaat.
  • Waspadalah terhadap “peramal” → semua prediksi tentang masa depan itu tidak 100% pasti. Waspadalah terhadap prediksi yang tidak mengakui hal itu. Pastikan berbagai skenario lengkap, jangan pernah hanya melihat kasus terbaik atau terburuk. Tanyakan seberapa sering prediksi tersebut benar terjadi sebelumnya.
  • Waspadalah pada tindakan drastis → tanya apa impact atau efek sampingnya. Tanyakan bagaimana ide itu telah diuji. Perbaikan step-by-step dan evaluasi dampaknya memang kurang dramatis, namun biasanya lebih efektif.
💡
Suka dengan post ini? Kamu bisa mendaftar ke email newsletter yang akan saya kirimkan tiap hari Sabtu. Isinya adalah rekomendasi buku yang sedang saya baca, beberapa link artikel menarik, video atau lagu yang saya temukan di minggu itu, serta quote yang berkesan.