How to be “Quiet”
Di dunia yang semakin ramai, tidak perlu ikut berteriak. Kita harus tahu cara untuk “diam”.
Algoritma Youtube saya saat ini tidak jauh dari video Key and Peele, Conan O’Brien, review jam tangan dan pulpen, atau video Twice. Tapi suatu malam sebelum tidur, saat saya sedang membuka Youtube, muncul satu video yang membahas salah satu series favorit saya, yaitu Succession.
Untuk kamu yang belum tahu, Succession bercerita tentang drama yang terjadi pada keluarga konglomerat pemilik media global, dimana kepala keluarga mereka memutuskan akan pensiun karena mengalami penurunan kesehatan. Akhirnya anak-anaknya berebut tahta yang akan ditinggalkan oleh sang ayah untuk menjadi CEO perusahaan mega besar itu.
Nah, video Youtube yang muncul ini bukan berisi tentang jalan cerita Succession, melainkan mengulas tentang quiet luxury alias elegansi dalam keheningan. Quiet luxury adalah gaya fashion yang menonjolkan status kekayaan dengan cara halus dan tidak mencolok. Dari perspektif orang awam, mungkin seseorang yang menerapkan quiet luxury terlihat sederhana atau paling tidak style-nya itu bisa diikuti. Namun kenyataannya sangat jauh bagai langit dan bumi.
Contoh saja Mark Zuckerberg dengan kaos polosnya. Kita bisa meniru salah satu orang terkaya di dunia dengan membeli kaos polos dengan harga di bawah 100 ribu. Tapi, apa yang dipakai Zuckerberg adalah kaos custom-made dari Brunello Cuccinelli dengan harga mencapai 5 juta rupiah.
Begitu pun dengan keluarga Roy di serial Succession. Semua outfit yang dipakai aktor-aktornya dari episode pertama hingga terakhir memiliki harga yang tidak masuk akal (paling tidak bagi saya sendiri). Bahkan ketika mereka sedang bersantai dan tidak ada di dalam sebuah pesta, harga pakaiannya bisa lebih dari 14x lipat UMR Jakarta.
Saya merasa tertarik dengan fenomena ini. Mungkin pada era dimana orang begitu mudah pamer di media sosial, kebanyakan berusaha untuk “meneriakkan” kekayaannya dengan menggunakan barang-barang branded berlogo besar. Sebuah masalah klasik karena akhirnya kecemburuan menimbulkan keinginan untuk menyaingi. Kita berusaha untuk mengesankan semua orang.
Ternyata, golongan super kaya yang menerapkan quiet luxury menunjukkan bahwa mereka tidak perlu “berteriak” untuk meminta perhatian.
Hukum Kekuatan
Bulan lalu saya membuat rangkuman part I buku The 48 Laws of Power karya Robert Greene. Dalam buku itu, hukum yang keempat berbunyi “Selalu katakan lebih sedikit dari yang diperlukan”. Kita semua pasti mengenal peribahasa tong kosong nyaring bunyinya, kan?
Orang yang berkuasa sanggup mengintimidasi dengan tidak banyak bicara. Karena semakin banyak kamu berkata, semakin besar kemungkinanmu mengatakan suatu hal yang bodoh.
John Rockefeller, salah satu pebisnis paling sukses sepanjang masa, adalah orang yang jarang sekali berbicara. Ia membiarkan orang lain berdebat, sementara dirinya sendiri hanya duduk diam. Tapi ia selalu mengingat semua hal, dan pada saat ia mulai bersuara, he puts everything in its proper place.
Tentu saya yakin bahwa di dalam diamnya, Rockefeller mendengarkan dengan seksama, memutar otak, berpikir keras, dan akhirnya membuat keputusan terbaik. Ia tahu bahwa tugas utamanya adalah menjadi decision maker dan untuk menjalankan tugas itu, ia membutuhkan quiet time di dalam kepalanya. Sebagai pemimpin, produktivitas tertingginya didapatkan justru dengan diam dan berpikir.
Di dunia kerja saat ini, produktivitas sering diukur dengan “melakukan sesuatu”. Banyak rapat artinya produktif. Sibuk mengerjakan laporan artinya produktif. Segala pekerjaan yang dilakukan secara fisik adalah pekerjaan yang produktif.
Sayangnya, semua posisi dianggap demikian. Padahal pekerjaan accounting tidak sama dengan pekerjaan desain dan marketing, misalnya. Seorang akuntan produktif jika sanggup menyelesaikan laporan keuangan. Tapi seorang karyawan tim desain justru sedang produktif jika ia hanya menatap ke luar jendela sambil memikirkan ide promosi iklan.
Ironinya, seorang manager yang dibutuhkan sebagai pengambil keputusan, mungkin memiliki waktu yang paling sedikit untuk bisa berpikir. Hari-harinya dipenuhi dengan rapat dan rapat. Motto Presiden untuk “kerja, kerja, kerja” diartikan sebagai “do, do, do” tanpa adanya think.
Ide yang bagus jarang sekali bisa datang di dalam meeting. Justru ide lebih sering muncul saat kita sedang mandi, sedang jalan kaki, atau di dalam perjalanan. Bahkan kata yang sangat terkenal, Eureka, muncul dari mulut Archimedes saat ia sedang di bak mandi.
Albert Einstein, yang tidak diragukan lagi kepintarannya, sering berjalan sendirian menyusuri pantai agar bisa mendengar apa yang ada di dalam kepalanya. Mozart gemar keluar rumah setelah makan malam atau saat tidak bisa tidur. Bill Gates memiliki “Think Week”, dimana ia mengasingkan diri selama 7 hari untuk berpikir tentang masa depan teknologi atau sekedar membaca buku.
Mengutip Morgan Housel, “Lihatlah para pemikir terkenal yang tidak perlu mengesankan siapa pun dengan terlihat sibuk, dan Anda akan melihat sebuah tema: Mereka menghabiskan banyak waktu melakukan hal-hal yang tidak terlihat seperti pekerjaan, namun pada kenyataannya sangat-sangat produktif.”
Quiet Compounding
Tidak ada bayi yang lahir langsung berwujud manusia dewasa. Begitu pun semua pohon besar dan raksasa yang berasal dari biji yang kecil. Pertumbuhan terjadi secara kasat mata, namun hasilnya bisa mencengangkan dalam jangka panjang.
Salah satu buku tentang investasi yang berkesan dan membuat saya akhirnya mencoba terjun langsung berjudul “Millionaire Teacher: The Nine Rules of Wealth You Should Have Learned in School” karya Andrew Hallam. Seperti judulnya, Hallam adalah seorang guru SMA yang menjadi milyuner tanpa hutang. Ia mencapai hal tersebut dengan menabung serta melakukan index investing secara konsisten.
Ada banyak cerita yang mirip dimana orang menjadi kaya karena mereka menabung dan berinvestasi selama beberapa dekade. Mereka tidak pernah flexing, pamer, atau berkoar-koar. Mereka hanya memanfaatkan keajaiban compounding secara diam-diam.
Kembali mengutip Housel, ia pernah membandingkan hal ini dengan kencan pertama. Coba bayangkan kamu baru selesai first date dengan pasanganmu. Kemudian semua riwayat telepon, semua chat, semua percakapan yang kamu lakukan langsung kamu upload di medsos. Orang-orang pasti akan mengomentari yang kamu lakukan. Oh, harusnya kamu begini saat kencan. Oh, bagusnya kamu jangan bicara begitu. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Kamu mungkin akan malu, mungkin akan menyesal, mungkin akan berpikir “Iya juga ya, coba aku melakukan ini”. Intinya kamu akan begitu terpengaruh oleh pandangan orang lain, padahal dengan kondisi dan kepribadian berbeda, lalu kamu tidak akan menjadi diri kamu sendiri.
Hal ini mirip sekali dengan bagaimana kita mengelola uang. Kamu sudah punya rencana menabung untuk membayar DP motor. Tapi suatu pagi kamu melihat kawan-kawanmu di medsos update status tentang konser artis internasional. Akhirnya uang DP tadi terpakai untuk beli tiket.
Kamu adalah penganut investasi yang konservatif: cukup menaruh uang di tabungan bank serta deposito. Tapi saat melihat temanmu update keuntungan yang dia dapatkan dari trading saham, akhirnya kamu mencairkan depositomu dan langsung terjun ke pasar saham, tanpa mengerti dasarnya, yang penting ikut rekomendasi. Akhirnya portofoliomu merah semua dan kamu jual rugi.
Uang bisa digunakan untuk memiliki kesejahteraan yang lebih baik. Uang juga bisa digunakan sebagai alat ukur pembanding kesuksesan kita dan orang lain. Sangat jelas dari dua hal itu mana yang bisa membawa kita ke hidup yang lebih bahagia.
Menurut Housel, quiet compounding memiliki empat arti baginya:
#1. Menekankan tolok ukur internal dan eksternal
Apakah kita bisa bahagia dengan sebuah hasil jikalau hanya kita yang bisa melihatnya, dan kita tidak membandingkan hasil tersebut dengan kesuksesan orang lain?
#2. Penerimaan terhadap betapa berbedanya tiap orang, dan kesadaran bahwa apa yang berhasil untuk saya belum tentu berhasil untuk kamu, begitu juga sebaliknya
Banyak sekali kegagalan finansial diakibatkan karena seseorang berusaha meniru orang lain yang memiliki kondisi dan tujuan berbeda. Ketika kita melakukan sesuatu diam-diam, kita tidak akan rentan terpengaruh dengan orang seperti itu.
#3. Fokus pada independensi ketimbang pandangan sosial
Menggunakan uang untuk meningkatkan kesejahteraan lebih baik ketimbang mencoba mempengaruhi persepsi orang tentang hidup kita. Kamu lebih memilih berhutang demi bisa pamer beli mobil baru di medsos atau memiliki kebebasan untuk melakukan apapun, dengan siapapun, dan selama apapun yang kamu mau?
#4 Fokus pada ketahanan jangka panjang dibanding perbandingan jangka pendek
Sama seperti pertumbuhan bayi atau benih yang menjadi pohon, fokuslah pada tujuan jangka panjang. Daripada berusaha terlihat lebih kaya, lebih pintar, atau lebih baik dari orang lain, buatlah taruhan secara diam-diam bahwa keadaan pasti akan menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu.
Benang Merah
Terkadang diam itu memang emas. Banyak orang yang saya kenal bermulut besar dan banyak bicara. Mungkin karena kebiasaan, mungkin ingin membuktikan sesuatu, atau mungkin memang tidak bisa ditahan. Tapi sangat sering terjadi, ketika mereka mengomentari hal yang sebenarnya tidak mereka mengerti, mereka jadi terlihat bodoh.
Di banyak situasi, saya rasa lebih penting berusaha untuk mendengarkan dan membaca kondisi. Dalam diam, otak lebih mudah berpikir serta berkonsentrasi. Dalam diam, kita bisa mengevaluasi sendiri, apakah satu langkah yang akan diambil ini memang yang terbaik. Dalam diam, kita bisa tahu fokus sebenarnya dari apa yang ingin dituju.
Kita tidak perlu menunjukkan ke orang asing kalau kita lebih, apapun itu. Lebih pintar, lebih kaya, lebih sukses, dan sebagainya. Alih-alih demikian, saat ada masalah di depan mata, kita bisa fokus menyelesaikan. Apakah perlu memakai pakaian dengan logo brand besar terpampang? Kita memakainya karena haus akan validasi dan pujian orang atau memang karena nyaman? Apakah perlu update status investasi saham naik sekian persen? Kita ingin pamer bahwa analisis jangka pendek benar padahal mungkin hanya beruntung atau memang ingin jualan rekomendasi? Fokuslah pada tujuan yang sudah kamu tetapkan sendiri.
Haruki Murakami pernah menulis di dalam bukunya seperti ini:
“Silence, I discover, is something you can actually hear.”
Keheningan ternyata adalah sesuatu yang bisa kita dengar.
Hal yang menarik dan memberi impact besar tidak harus diteriakkan dengan keras, diumumkan, atau dipamerkan.
Dalam diam ternyata ada elegansi. Dalam diam kita bisa menemukan solusi. Dan dalam diam, hal yang menakjubkan tumbuh besar dan tinggi.