Repetisi, Repetisi, Repetisi

Bruce Lee pernah mengatakan, “Aku tidak takut dengan orang yang latihan 10,000 jenis tendangan satu kali. Aku takut dengan orang yang latihan satu tendangan 10,000 kali.”

Repetisi, Repetisi, Repetisi
Photo by Uriel Soberanes / Unsplash
Otak Sadar dan Bawah Sadar

Setiap harinya, otak kita mengonsumsi energi yang besar, yaitu sekitar 350 - 450 kalori atau mencapai 20-25% kebutuhan kalori. Itu sebabnya, apabila kita seharian berpikir, misal saat kita ujian di sekolah atau rapat dan berdiskusi di kantor, badan kita akan terasa lelah walaupun hanya duduk.

Agar lebih efisien, otak melakukan cara-cara penghematan energi. Misal saat kita lelah kita seakan tidak mendengarkan apabila ada orang yang sedang berbicara. Kita mungkin lebih sulit fokus saat membaca karena kepala terasa overload. Atau cara lain adalah dengan mengotomasi tindakan kita.

Kamu mungkin pernah mendengar istilah otak sadar dan bawah sadar (conscious dan subconscious). Otak sadar sangat peka terhadap 4 hal yang disebut DIPI: Dangerous, Important, Pleasurable, dan Interesting.

brown brain decor in selective-focus photography
Photo by Robina Weermeijer / Unsplash

Secara singkat, otak sadar mendeteksi bahaya di sekeliling kita, ia memprioritaskan apa yang menurutnya penting, ia memilih hal yang memberikan kesenangan dan menghindari rasa sakit, serta mudah terpancing dengan hal yang menurutnya menarik. Untuk mengaktifkan otak sadar ini butuh energi yang besar.

Lalu bagaimana dengan hal lain yang tidak termasuk ke 4 kategori tadi?

Hal lain akan masuk ke dalam otak bawah sadar.

Coba ingat saat kamu pertama kali belajar mengendarai motor atau mobil. DIPI masih berlaku. Kamu sangat peka terhadap bahaya. Apa yang terjadi kalau salah injak gas? Bagaimana caranya pindah gigi? Kalau mau putar balik dan ada Pak Ogah, mana yang harus dilakukan lebih dulu? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Bandingkan dengan sekarang. Saat masuk ke dalam mobil, badan sudah otomatis bergerak. Tanpa berpikir panjang kamu mulai menghidupkan mesin, pasang seat belt, hidupkan radio dan tidak ada masalah saat menjalankan mobilnya. Mungkin kamu malah berpikir tentang apa yang harus disiapkan saat nanti rapat di kantor, atau siang nanti makan apa, atau sekedar bengong dan melamun.

Bayangkan juga apa yang kamu lakukan saat bangun tidur di pagi hari atau saat mandi. Semua berjalan seakan dengan otomatis dan tanpa dipikirkan lagi. Ini terjadi karena kita merepetisi suatu kegiatan secara berulang-ulang, sehingga untuk mengefisienkan energi, otak sadar kita tidak lagi menganggap kegiatan itu sebagai DIPI.

Repetisi sangat penting untuk membuat kebiasaan yang baru.

Repetisi Aksi yang Menjadi Pembeda

Ilmuwan saraf yang meneliti hubungan sebuah repetisi aktivitas dan kondisi otak mengonfirmasi bahwa dengan setiap repetisi, sinyal antar sel di otak meningkat dan hubungan neural semakin menguat. Secara fisik, otak kita literally berubah.

Ada sebuah penelitian di London yang menganalisis otak supir taksi. Mereka menemukan bahwa para supir taksi ini memiliki hippocampus (bagian otak yang terlibat dalam spatial memory) yang jauh lebih besar daripada orang biasa. Tidak heran karena mereka harus mengingat semua jalanan utama dan jalan tikus di London agar bisa memiliki lisensi.

photo of car and bus near castle
Photo by Sabrina Mazzeo / Unsplash

Di dalam buku Atomic Habits, James Clear mengutip filsuf Inggris bernama George Lewes, “Saat belajar untuk mengucapkan bahasa baru, untuk memainkan sebuah instrumen musik, atau melakukan pergerakan yang tidak biasa, kita akan merasa sangat kesulitan, karena saluran yang menghubungkan tiap sensasi belum terbentuk. Tetapi, saat repetisi dengan frekuensi tinggi dilakukan, kesulitan itu pun akhirnya hilang. Tindakan kita menjadi sangat otomatis sehingga bahkan bisa dilakukan ketika otak kita memikirkan hal yang lain.”

Ada satu cerita yang menarik dan berkesan bagi saya di dalam buku Atomic Habits. Pada hari pertama di sebuah kelas jurusan fotografi di Universitas Florida, seorang dosen membagi kelasnya menjadi dua grup: Grup Kuantitas dan Grup Kualitas.

Sesuai namanya, Grup Kuantitas akan dinilai berdasarkan jumlah foto yang dikumpulkan oleh para mahasiswa di hari terakhir kuliah. Sementara mahasiswa di Grup Kualitas hanya perlu mengumpulkan satu foto saja. Untuk mendapat nilai A, Grup Kuantitas perlu mengumpulkan seratus foto, sementara Grup Kualitas perlu mengambil satu foto dengan gambar yang hampir sempurna.

Hal yang menarik terjadi. Di hari terakhir kelas mereka, sang dosen mendapati justru foto-foto terbaik diambil oleh mahasiswa yang berada di Grup Kuantitas. Ternyata di dalam proses pengambilan puluhan atau ratusan foto, Grup Kuantitas melatih kemampuan mereka, bereksperimen mencoba komposisi, lighting, dan berbagai metode pengambilan gambar.

Sementara, Grup Kualitas terlalu sibuk berspekulasi tentang kesempurnaan. Mereka berkutat dengan teori dan akhirnya hanya menghasilkan foto medioker.

person holding black dslr camera
Photo by BAILEY MAHON / Unsplash

Saya yakin ini sebenarnya bukan hal yang asing bagi kita. Seringkali kita melakukan riset: bagaimana cara terbaik menurunkan berat badan, bagaimana menjalankan sebuah bisnis, bagaimana cara berinvestasi, dan sebagainya. Dan sayangnya, saking fokusnya ke riset, kita lupa hal terpenting, yaitu melakukannya.

Perbedaan “Ingin Melakukan” dan “Melakukan”

Mengapa kita terjebak di perencanaan, membuat strategi, atau belajar teori, tanpa pernah memulai untuk melakukan hal yang kita inginkan tersebut?

Pertama, dengan merencanakan atau mempelajari sesuatu, kita mendapat ilusi seakan sudah ada progress. Setelah menonton video di Youtube tentang produktivitas, kita merasa lebih produktif dibanding sebelum menonton. Padahal apakah ada bedanya? Ilusi ini cukup berbahaya karena kita sudah merasa lebih baik dibanding tidak melakukan apa-apa, padahal sebenarnya apabila setelah itu kita tidak bertindak, ya kita tetap belum melakukan apa-apa.

Kedua, mungkin kita tidak siap menanggung konsekuensinya. Konsekuensi gagal, konsekuensi dikritik, konsekuensi dihakimi oleh orang lain. Kita mengatakan pada diri kita sendiri bahwa kita adalah seorang yang perfeksionis. Semua harus direncanakan, semua risiko sudah dipertimbangkan, setelah kita bisa menanggulanginya, barulah kita memulai. Tapi ini adalah sebuah bentuk procrastination.

Seorang ilmuwan tidak akan mendapat penemuan hebat hanya dari brainstorming atau berpikir semata. Ia harus melakukan trial & error. Saya yakin tidak ada penulis yang berhasil menjual buku bestseller dari tulisan pertamanya. Apalagi seorang atlet yang menjadi juara dunia hanya karena membaca riset tentang cabang olahraganya.

“Bentuk pembelajaran yang paling efektif adalah dengan latihan, bukan perencanaan.”

Jadi, kalau kamu ingin memiliki kebiasaan yang baru untuk mencapai tujuanmu, jangan berkutat di perencanaan saja. Kuncinya adalah lakukan dan lakukan lagi. Repetisi, sampai terotomasi.

💡
Suka dengan post ini? Kamu bisa mendaftar ke email newsletter yang akan saya kirimkan tiap minggunya, berisi rekomendasi buku yang sedang saya baca, beberapa link artikel menarik, video atau lagu yang saya temukan di minggu itu, serta quote yang berkesan untuk saya.