Tentang Berbuat Salah

Tentang Berbuat Salah
Photo by CHUTTERSNAP / Unsplash

Morgan Housel, pengarang buku favorit saya, Psychology of Money, menuliskan beberapa “smart things” yang ia baca beberapa waktu lalu. Ada sekitar 27 quotes yang bisa kamu baca secara lengkap di sini.

Dari 27 quotes tersebut, akan saya ambil dua untuk dibahas di dalam post kali ini.

Until we know we are wrong, being wrong feels exactly like being right.” — David McRaney
“Sampai kita sadar kalau kita salah, berbuat salah akan sama persis rasanya dengan berbuat benar.”

Suatu siang sepulang sekolah, saat saya masih duduk di bangku SD, saya dan adik saya membeli minuman es. Hari itu hari Sabtu, sehingga kami diperbolehkan bermain game di PlayStation. Tanpa berganti baju seragam kami langsung masuk kamar dan bermain, untuk memanfaatkan waktu seoptimal mungkin. Setelah beberapa saat, game kami pause karena mau menghabiskan minuman es yang tadi dibeli.

Satu gelas es di meja langsung saya ambil dan teguk. Segar. Tiba-tiba gelas itu direbut adik saya dan sambil marah ia mengatakan minuman es itu adalah miliknya. Sontak saya pun ikut emosi, dan akhirnya kami bertengkar. Saya yakin sekali setelah melepas sepatu, saya langsung ke dapur mengambil gelas. Jadi, minuman di meja itu adalah milik saya! Adik saya menunjukkan kalau gelas di meja tadi bergambar salah satu superhero, itu adalah gelasnya. Artinya saya meneguk minuman miliknya.

Lalu ia membawa gelas itu untuk dimasukkan ke dalam kulkas. Saat pintu kulkas dibuka, ya, kamu pasti sudah bisa menebak. Minuman saya berada di dalam kulkas dengan gelas bertuliskan inisial nama saya.

Apa yang dirasakan pada saat tahu kalau saya salah? Tentu rasa malu, mungkin merasa bodoh, atau justru tidak terima. Satu hal yang pasti, saya sangat yakin es yang ada di meja adalah milik saya, sebelum akhirnya pintu kulkas dibuka. Kenapa saya bisa begitu yakin kalau saya yang benar dan orang lain yang salah?

clear drinking glass with brown liquid
Photo by Rohan Gupta / Unsplash

Beberapa tahun yang lalu, saya membuat kembali akun Twitter karena akun yang lama sudah saya hapus. Banyak meme lucu, tweet orang-orang yang menghibur, dan suatu hal yang trending biasanya paling pertama muncul di Twitter. Tapi yang sampai sekarang masih terus terjadi adalah: hampir setiap hari ada saja orang yang berdebat.

Mulai dari bubur diaduk atau tidak, debat sepakbola, sampai debat politik. Dari semua debat itu, saya bisa menarik satu hal yang sama: semua orang merasa paling benar dengan opininya.

Apakah begitu memuaskan ‘menang’ debat dengan orang asing yang tidak kita kenal? Sehingga semua begitu ngotot mempertahankan pendapatnya, tak peduli walaupun lawan debat sudah menunjukkan banyak data yang kontradiktif dengan pendapat kita.

Saya yakin saya sering seperti itu di dunia nyata. Kamu pun mungkin demikian. Begitu yakin kalau kita yang benar dan orang lain yang pasti salah.

Menurut saya, langkah awal yang terbaik adalah menyadari kita memiliki bias ini dan berusaha sebisa mungkin untuk meyakinkan diri sendiri, “Ya, bisa saja saya yang salah. Mari dengarkan pendapat orang ini, barangkali dengan pendapatnya, justru kita malah bisa mendapatkan jawaban yang benar.”

Saya tidak mengajak kamu untuk selalu mengalah dan tidak memiliki pendapat sama sekali. Kamu punya hak untuk mempertahankan pendapatmu mengenai sesuatu. Tapi ingatlah bahwa kesempatan belajar selalu ada dari mana saja, termasuk dari lawan debat kita. Bisa saja ternyata kita yang salah. Dan sampai kita sadar kalau kita salah, berbuat salah akan sama persis rasanya dengan berbuat benar.


Evil usually enters the world unrecognized by the people who open the door and let it in. Most people who perpetrate evil do not see what they are doing as evil. Evil exists primarily in the eye of the beholder, especially in the eye of the victim.” — Roy Baumeister
“Kejahatan biasanya masuk ke dunia tanpa disadari oleh orang yang membuka pintu dan membiarkannya masuk. Kebanyakan orang yang melakukan kejahatan tidak melihat apa yang mereka lakukan sebagai kejahatan. Kejahatan hanya ada di mata orang yang melihatnya, terutama di mata sang korban.”

Saya teringat buku fantasi berjudul Eragon yang saya baca semasa kuliah (recommended baca 4 bukunya!). Quotenya persis dengan yang disampaikan Baumeister.

“Ingatlah, Eragon, tidak seorang pun menganggap dirinya penjahat, dan hanya sedikit orang yang mengambil keputusan yang mereka anggap salah. Seseorang mungkin tidak menyukai pilihannya, tapi dia akan mempertahankannya karena, bahkan dalam keadaan terburuk sekalipun, dia percaya bahwa itu adalah pilihan terbaik yang tersedia baginya saat itu.”

Mungkin inilah mengapa kita membutuhkan agama atau kepercayaan. Supaya kompas moral kita mengarah ke mata angin yang tepat. Kita butuh hukum, supaya tidak terjadi kekacauan di dalam hidup. Dan tentu kita membutuhkan orang lain, yang mau mengingatkan atau menegur saat apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan kaidah yang seharusnya.

Melakukan hal yang salah tetaplah salah, walaupun kita merasa benar.

Ayo kita belajar membuka pikiran dan wawasan, melihat segala sesuatu dengan berbagai sudut pandang, mau mendengarkan, dan tidak arogan. Toh kita hanyalah manusia biasa yang penuh dengan salah dan khilaf. Mengapa kita harus menganggap diri kita yang selalu benar?

💡
Suka dengan post ini? Kamu bisa mendaftar ke email newsletter yang akan saya kirimkan tiap minggunya, berisi rekomendasi buku yang sedang saya baca, beberapa link artikel menarik, video atau lagu yang saya temukan di minggu itu, serta quote yang berkesan untuk saya.