Weekly Blast (1/7) - Paradoks Keinginan

Hi!

Saat kita mengatakan kalau kita menginginkan sesuatu, apakah kita benar-benar menginginkannya?

Terkadang ada orang yang ingin punya badan sehat, tapi jarang meluangkan waktu untuk berolahraga atau mengatur makanan. Ada juga orang yang ingin memulai bisnisnya sendiri tapi hanya terus-terusan membaca buku kesuksesan orang lain tanpa melakukan sesuatu. Ingin bisa bermain musik atau lancar berbicara bahasa lain, tapi tidak pernah mulai latihan. Mungkin sebenarnya kita tidak menginginkan hal yang kita bilang kita inginkan.

Kenapa? Karena untuk mendapatkan sesuatu, harus ada hal yang dikorbankan. Agar bisa memiliki badan sehat, bugar, bertenaga, dengan berat ideal, kita harus disiplin meluangkan waktu dan energi. Bahkan setelah mencapainya, kita tetap harus berusaha konsisten untuk mempertahankan kondisi tersebut. Jadi mungkin deep down, sebenarnya kita tidak masalah kalau tidak mencapainya.

Seberapa besar kita menginginkan sesuatu akan proporsional dengan seberapa banyak yang harus kita korbankan. Jadi saat kita memiliki keinginan, jangan lupa untuk memikirkan trade-offnya. Apa yang harus kita lakukan untuk mencapainya? Apakah kita siap berusaha? Apakah hal tersebut memang benar-benar kita inginkan atau sebenarnya hanya keinginan sesaat saja?

Kalau kamu punya feedback untuk saya, silakan hubungi melalui email ini atau DM Twitter @jagadgp.

Selamat berakhir pekan!

Jagad

📖 Buku

Mere Christianity oleh C. S. Lewis. Buku ini adalah salah satu buku favorit saya. Kalau kamu pernah menonton atau membaca cerita Narnia, C.S. Lewis lah penulisnya. Itu sebabnya cerita Narnia banyak dikaitkan dengan simbol kekristenan. Padahal awalnya Lewis adalah seorang ateis.

Di dalam buku ini, Lewis memulai dengan pembahasan mengenai hukum moral, dimana sama seperti sains dan matematika, hukum tersebut tidak dibuat oleh manusia. Tapi berbeda dengan sains dan matematika, manusia bisa memilih untuk tidak menaati hukum moral. Ia berargumen (sebelum membahas mengenai agama), bahwa Tuhan itu ada. Dan menurut saya penjelasannya logis serta mudah dimengerti.

Kemudian selanjutnya ia membahas mengenai teologi Kristen, bagaimana etika seorang Kristiani, serta bagaimana pandangan Kristen mengenai Tuhan.

Saya cukup kaget melihat beberapa review yang kurang baik mengenai buku ini. Karena jujur saja, buku ini adalah ‘obat penawar’ untuk saya ketika saya berada di masa dimana bacaan saya waktu itu adalah buku-buku seperti Sapiens atau Enlightenment Now yang penulisnya adalah orang-orang yang tidak percaya dengan Tuhan.

Saya sangat merekomendasikan buku ini.

🎥 Film/Series

The Banshees of Inisherin di Disney+. Berlatar di sebuah pulau terpencil di Irlandia pada masa perang saudara, film ini menceritakan dua orang sahabat yang sudah berteman sepanjang hidup. Namun di suatu pagi, salah satu dari mereka tiba-tiba mengakhiri pertemanan begitu saja. Terbayang kan, di pulau terpencil yang penduduknya hanya sedikit dan setiap hari pasti bertemu satu dengan yang lain, tiba-tiba sahabat dekatmu berkata kalau hubungan pertemanan berakhir. Pasti muncul rasa kaget, kecewa, denial, atau bahkan marah dan tidak terima. Namun konflik mulai memuncak ketika usaha untuk kembali berteman ternyata dibalas dengan ultimatum mengerikan.

Saya menonton ini bersama empat sahabat dari kuliah yang sudah lama tidak bertemu. Sambil mengagumi akting pemeran, indahnya pemandangan di film tersebut dan jalan ceritanya, tentu saja di dalam hati saya berharap hal tersebut tidak akan terjadi pada saya dan sahabat-sahabat saya.

🗞️ Artikel

Interesting People: Seven Things They All Have in Common oleh Eric Barker. Jadi, tujuh hal yang bisa dilakukan agar kita bisa menjadi orang yang lebih menarik adalah 1) Don’t be boring (duh?), 2) Orang yang menyenangkan adalah pendengar yang baik, 3) Bicarakan mengenai hal yang disukai orang yang sedang kamu ajak bicara, 4) Miliki tiga cerita seru untuk diceritakan, 5) Jangan lupakan karisma (nada suara dan body language sangat penting), 6) Pilihlah tempat yang menarik, dan 7) Jalani kehidupan yang menarik.

How to Spend Your Time on What Matters Most oleh Jill Suttie. Artikel ini membahas mengenai topik buku Happier Hour yang memberikan gambaran bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu serta prioritas kita untuk hal yang membuat hidup lebih berarti dan membahagiakan.

Untuk memulainya, buatlah sebuah list detail bagaimana sekarang kita menghabiskan waktu. Apakah waktu kita habis untuk menonton serial film, mindless scrolling media sosial, bermain game, tanpa sadar sebenarnya sebanyak atau sedikit apa kita mendapatkan kepuasan dari kegiatan tersebut? Saat kita sudah menganalisa hari-hari kita, baru kita bisa tahu sebenarnya apa hal yang paling membuat kita bahagia (penulis mengatakan bahwa sumber terbesar kebahagiaan adalah relationships).

Kemudian untuk hal-hal yang sudah kita nikmati, kita perlu mengetahui konsep adaptasi hedonis, dimana hal yang bisa membuat kita super senang pun lama kelamaan akan berkurang tingkatnya. Ingat saja lagu favorit kita, makanan kesukaan, dan sebagainya. Kalau setiap hari atau setiap saat kita mendengar lagu yang sama atau makan makanan yang sama, akhirnya kita akan bosan atau malah menjadi tidak suka lagi. Perlu ada jeda atau variasi sehingga kita bisa lebih sadar dan bisa mengoptimalkan apa yang kita suka.

💭 Quote

“The older you get, the more boring traveling alone becomes. It’s different when you’re younger—whether you’re alone or not, traveling can be a blast. But as you age, the fun factor declines. Only the first couple of days are enjoyable. After that, the scenery becomes annoying, and people’s voices start to grate.”

Haruki Murakami, Blind Willow Sleeping Woman