Weekly Blast (10/15) - Pisahkan Kebahagiaan dari Tujuan

Hi!

Apakah orang yang mencapai kesuksesan pasti bahagia? Apakah yang berhasil memegang jabatan tertinggi di perusahaan, membangun start-up yang sukses, atau membeli apa pun yang dimau memiliki tingkat kebahagiaan lebih besar dibanding orang lain?

Beberapa minggu yang lalu, saya menemukan sebuah artikel menarik dari Dr. Hannah England. Isinya menurut saya berhubungan juga dengan apa yang sering saya pikirkan. Jadi pada newsletter minggu ini saya akan coba merangkumkan serta menulis sedikit lebih panjang dari biasanya.

Arrival Fallacy

Penting bagi kita untuk memisahkan kebahagiaan dengan tujuan yang ingin kita capai. Maksudnya?

Bayangkan saat kamu punya suatu keinginan dan ekspektasimu sangat besar untuk keinginan itu. Kemudian, ternyata saat keinginan itu terpenuhi, euforia yang kamu alami hanya bertahan sebentar saja. Bahkan kadang kamu merasa kosong atau berpikir, “Kok cuma gini aja, ya?” Anti-klimaks.

Hal ini dinamakan arrival fallacy, kesalahan pemikiran dimana kita menganggap kita akan bahagia saat berhasil meraih sesuatu yang diinginkan.

Istilah ini pertama kali keluar dari seorang psikolog bernama Dr. Tal Ben-Shahar. Di masa muda, ia adalah seorang pemain squash yang sering memenangi pertandingan atau turnamen. Dr. Tal memiliki kepercayaan bahwa ia akan bahagia apabila bisa memenangi sebuah kejuaraan. Namun, ternyata perasaan kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar saja. Justru setelahnya, ia malah merasakan stress, penuh tekanan, dan rasa kekosongan.

Satu contoh lain misalnya saat kita ingin beli gadget baru. Kita lihat semua review di internet, cek spec dan fitur terbarunya, menabung berbulan-bulan hingga akhirnya gadget itu ada di tangan. Tapi, rasa senang memiliki tersebut hanya bertahan sebentar. Setelah beberapa hari kita merasa biasa saja.

Sebenarnya, apa sih efek dari arrival fallacy?

Salah satunya adalah impact terhadap kondisi emosional serta decision making kita di masa depan. Jika kita sudah bekerja dengan keras untuk menggapai sesuatu lalu berhasil, tapi euforianya hanya bertahan beberapa hari, kita bisa saja menyimpulkan bahwa perjuangan kita ini tidak worth it. Atau kemungkinan lain, kita bisa saja langsung mencari tantangan baru untuk dapat merasakan sedikit rasa kebahagiaan itu lagi tanpa benar-benar memperhitungkan konsekuensinya.

Kebahagiaan bukanlah satu titik statis atau sebuah garis finis yang dicapai setelah kita meraih tujuan kita. Okey, memang kita akan mendapatkan short-term boost saat target kita tercapai. Tapi tingkat kebahagiaan akan terus naik dan turun bergantung pada banyak sekali pengalaman internal dan eksternal dalam hidup, bukan hanya satu event.

Lalu, bagaimana cara menghadapinya?

Memiliki tujuan atau impian untuk diraih sangat penting bagi pengembangan diri kita, walaupun kita bisa terjebak dalam arrival fallacy. Menurut Dr. Tal Ben-Shahar, ingatlah bahwa proses dalam meraih tujuan sama pentingnya dengan hasil yang didapat, sehingga itu akan membantu kita menghindari perasaan yang anti klimaks. Selain itu, ada tiga strategi yang bisa dicoba:

#1 Hindari proyeksi when/then happiness

Saat kita berkata “Aku akan bahagia ketika aku (promosi jabatan, pindah ke luar negeri, menang penghargaan)”, artinya kita sudah memberikan tekanan pada tujuan tersebut untuk bisa berkontribusi pada kondisi jangka panjang mental kita. Hal ini justru berpotensi menimbulkan kekecewaan.

Alih-alih demikian, catat apa saja yang membuat kamu senang sekarang. Dibanding mengharapkan kebahagiaan saat tujuan tercapai nanti, cari hal positif dalam hidupmu saat ini (latihan melalui journalling atau meditasi).

#2 Fokus pada proses, bukan hanya hasil

Saat ingin mencapai tujuan tertentu, jangan hanya mengharapkan kebahagiaan atau kesenangan saat tujuan itu tercapai. Pastikan untuk menikmati semua langkah dan prosesnya juga.

#3 Rayakan keberhasilan-keberhasilan kecil (micro wins)

Saat kita bisa puas menyelesaikan hal-hal yang kecil, kita akan semakin bersemangat untuk mencapai hal lebih besar. Selain itu, kita bisa merasa lebih produktif dan lebih bahagia ketika mendapatkan sense of fulfillment dari keberhasilan kecil tersebut.

Jadi intinya, punya tujuan dapat membantu kita untuk terus maju, namun jangan menggantungkan kebahagiaanmu pada tujuan itu. Hal ini supaya kita terhindar dari arrival fallacy. Rayakan tiap aspek kehidupan kita yang sudah memberikan kebahagiaan, nikmati prosesnya dan kita akan bisa bertumbuh menjadi lebih baik.

Kalau kamu punya feedback untuk saya, silakan hubungi melalui email ini atau DM Twitter @jagadgp.

Happy weekend!

Jagad

🗞️ Artikel

Expectations (Five Short Stories) oleh Morgan Housel. Pada artikel ini, Housel membagikan lima cerita sangat singkat yang ringan namun mengena. Ada lima hal yang bisa dijadikan pembelajaran. Pertama, it’s never as good as it looks. Kita sering membandingkan hidup kita dengan orang lain, mengira bahwa orang lain jauh lebih bahagia dengan kehidupan yang menarik dan keberuntungan berlimpah. Tapi, yang tampak di mata belum tentu sesuai dengan kondisi aslinya.

Kedua adalah mengenai bagaimana hormon dopamine bekerja dalam membentuk ekspektasi. Sensasi yang kita rasakan dari ekspektasi atau antisipasi suatu hal biasanya jauh lebih besar dibanding pengalaman aktual yang kita rasakan. Pada akhirnya seringkali kita merasa, “Kok cuma begini ya?”

Cerita ketiga memberi pesan bahwa perubahan biasanya membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dibanding yang kita kira. Kamu tahu ga kalau produsen mobil Ford sudah menawarkan penggunaan seat belts dari tahun 1955, namun butuh hampir 5 dekade sebelum 80% pengguna mobil memakainya? “Salah satu gaya terkuat di dunia adalah dorongan untuk terus melakukan hal yang sudah biasa dilakukan, karena orang tidak suka kalau diberi tahu bahwa selama ini apa yang dilakukan itu salah.”

Pada cerita keempat, Housel menyampaikan sebuah bias dimana kita seringkali berpikir risiko merupakan hal yang terjadi pada orang lain. Orang lain lah yang tidak beruntung, orang lain yang membuat keputusan bodoh, orang lain yang bisa tergoda oleh ketamakan dan ketakutan. Sementara kita? Tidak pernah. Bias ini merupakan kepercayaan diri yang palsu.

Kisah terakhir tidak kalah menarik, yaitu tentang dokter bedah yang pernah menyembuhkan seorang ibu yang buta akibat katarak. Hal ini mungkin seperti sebuah mukjizat dan ia bisa merasa bangga karena keberhasilannya. Namun yang tidak disadari, ternyata selain memberikan penglihatan kepada si ibu tadi, ia juga memberikan depresi. “Semua cita-cita yang kamu impikan memiliki sisi negatif yang tidak disadari dan mudah terabaikan.”

đź’­ Quote

“If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking”

Haruki Murakami, Norwegian Wood