Weekly Blast (12/25) - Pilihan Default

Hi!

Selamat hari Natal untuk kamu yang merayakan!

Minggu ini saya ingin membahas mengenai alasan mengapa terkadang orang senang apabila bisa memiliki banyak pilihan, tapi justru bingung sendiri dan cenderung tidak suka untuk memilih. Lalu mengapa saat ada opsi familier, orang cenderung untuk memilihnya ketimbang alternatif lain yang baru atau jarang?

Hal ini ternyata dinamakan the default effect. Anne-Laure Le Cunff dalam artikelnya berjudul The Default Effect: Why We Renounce Our Ability to Choose menjelaskan bahwa dalam aspek hidup kita, mulai dari produk yang kita beli sampai karir yang kita bangun, sering dipengaruhi oleh tendensi tersebut.

Salah satu teori mengatakan bahwa penyebab efek default adalah karena manusia sudah terprogram untuk menghindari loss/kerugian. Jadi, kita akan memilih jalur teraman dan apa yang familier seakan memiliki resiko yang lebih kecil. Teori lain mengatakan bahwa memang lebih mudah untuk memilih apa yang sudah ada di depan kita ketimbang harus melakukan riset atau mengevaluasi alternatif opsi yang lain.

Memilih jalur teraman yang familier mungkin terlihat sebagai ide yang baik, namun sebenarnya ini bisa membawa kita ke keputusan yang suboptimal. Contohnya kita mungkin bertahan di tempat kerja sekarang walaupun merasa tidak nyaman, karena pikiran untuk memulai lagi dari awal itu terlalu berat dan menakutkan.

Anne-Laure menyebutkan ada tiga strategi sederhana yang bisa dilakukan agar kita tidak melulu hidup dengan pilihan default:

  • Beri ruang untuk metakognisi (berpikir tentang berpikir). Kita sering terlalu sibuk memikirkan bagaimana menyelesaikan suatu hal, sampai lupa mengapa kita ingin menyelesaikan hal tersebut. Refleksi, meditasi, dan journaling adalah beberapa cara yang bisa dilakukan sehingga kita bisa lebih aware terhadap pemikiran kita sendiri
  • Praktikkan refleksi tersebut setiap pengambilan keputusan. Misal, kalau kita ingin makan gorengan saat istirahat setelah meeting, tanyakan ke diri sendiri: adakah opsi snack lain yang lebih sehat?
  • Proyeksikan diri sendiri ke masa depan. Ketika kita memperhitungkan kemana tujuan yang ingin kita capai, kita tidak akan menutup mata ketika melangkah. Kita bisa memilih, apakah opsi default yang familier bisa mengantar kita ke tujuan atau kita memerlukan alternatif lain.

Ada sebuah quote dari Robert Frost:

Ada dua jalan bercabang di hutan. Aku memilih yang jarang dilalui. Dan itulah yang membuat segala perbedaan

Kalau kamu punya feedback untuk saya, silakan hubungi melalui email ini atau DM Twitter @jagadgp.

Merry Christmas!

Jagad

🌐 Post

Post saya di minggu ini adalah rangkuman buku The Death of Ivan Ilych karangan Leo Tolstoy, yang digadang-gadang sebagai salah satu mahakaryanya selain Anna Karenina. Buku klasik ini menceritakan tentang hidup dan matinya Ivan Ilych. Kita bisa merefleksikan apakah kita sudah menjalani hidup sebagaimana mestinya, kemudian apakah mungkin persepsi seseorang bisa berubah ketika ia menghadapi akhir hayat. Sebuah bacaan pendek yang bisa diselesaikan dalam sekali baca, namun meninggalkan kesan mendalam.

📖 Buku

The Best We Could Do oleh Thi Bui. Sebuah buku ilustrasi berisi memoir penulis yang menceritakan perjalanan ia dan keluarganya dari Vietnam di masa perang hingga menjalani hidup di Amerika. Dalam buku ini kita bisa merasakan perjuangan seorang ibu membesarkan anak-anaknya, membayangkan perubahan hidup yang drastis akibat perang, dan sulitnya menjadi imigran (terutama di Amerika). Dengan tulisan puitis dan seni yang mempesona, Thi Bui menggambarkan dengan apik pentingnya keluarga, identitas, dan makna ‘rumah’. Buku ini sanggup memberikan inspirasi bagi semua orang yang berusaha mencari masa depan yang lebih baik namun merindukan kesederhanaan masa lalu.

🎥 Film/Series

Alice in Borderland Season 2 di Netflix. Melanjutkan perjalanan Arisu dan Usagi menyelesaikan semua game. Jika di season sebelumnya tingkat kesulitan digambarkan dengan angka kartu 1 sampai 10, sekarang mereka dan peserta lain harus menghadapi face card: Jack, Queen, dan King. Lebih packed with action, lebih dramatis, dan tentunya kita dibawa rasa penasaran sebenarnya ada apa di balik semua yang terjadi pada Arisu dan penduduk Tokyo.

🗞️ Artikel

Travel is No Cure for The Mind oleh Lawrence Yeo. Artikel ini cukup menampar saya. Yeo memberikan pandangan yang sangat jelas bahwa travel bukanlah pengobat kegelisahan pikiran. Kadang kita merasa bosan dengan aktivitas harian yang berulang dan ingin pergi keluar dari box rutinitas. Akhirnya kebanyakan dari kita merencanakan liburan, entah ke luar kota atau ke luar negeri.

Namun liburan dirancang sebagai jeda singkat (yang menyenangkan) sebelum akhirnya kembali lagi ke kotak rutinitas yang sama. Kita tahu dan sadar mengenai hal ini. Itu sebabnya kecenderungan orang liburan adalah “memaksimalkan pengalaman”, yaitu dengan membuat jadwal yang penuh dan padat sehingga sebisa mungkin mengunjungi semua destinasi. Tapi toh akhirnya kita kembali ke box rutinitas yang sama, menghitung hari untuk liburan selanjutnya.

Yeo menyimpulkan, walaupun travelling bisa memperluas pengetahuan dan pengalaman kita tentang dunia, namun itu bukanlah jawaban yang kita butuhkan untuk mengobati pikiran kita yang gelisah. Justru kita bisa memperkuat dan meningkatkan kesehatan pikiran bukan dengan membuang box rutinitas kita dan menemukan box baru, melainkan mensyukuri dan mengoptimalkan apa yang sudah kita miliki sekarang, dengan segala kegembiraan, kekurangan, serta segala sesuatu di antaranya.

💭 Quote

“Why these sufferings?" And the voice answered, "For no reason—they just are so.”

Leo Tolstoy, The Death of Ivan Ilych