Weekly Blast (2/10) - Process Goals atau Outcome-Based Goals?

Weekly Blast (2/10) - Process Goals atau Outcome-Based Goals?
Photo by Ronnie Overgoor / Unsplash

Hi!

Minggu ini saya akan membahas sebuah artikel yang ditulis oleh Ivaylo Durmonski, yaitu Why Choose Process Goals? (Over Outcome-Based Goals). Sebenarnya tema yang dibahas sama dengan yang saya tulis beberapa kali di waktu yang lalu. Outcome-Based Goals adalah goals atau tujuan, yang ketika sudah dicapai, tidak lagi kita kejar. Mengingatkanmu pada bahasan tentang arrival fallacy, kan?

Misal, kamu punya celana jeans yang saat SMA dulu sangat fit dan pas di kakimu. Tapi saat kamu mau mencoba memakainya kembali, setelah beberapa tahun selalu ngemil sebelum tidur malam, ternyata celananya hanya bisa naik sampai ke paha. Akhirnya dengan hati panas dan semangat membara, kamu mencari video di internet serta artikel tentang bagaimana menurunkan berat badan. Apapun yang terjadi jeans itu harus muat saat kamu pakai!

Ternyata benar, selama ada kemauan pasti ada jalan. Setelah beberapa bulan kamu tidak makan malam dan setiap pagi kamu jalan kaki keliling provinsi, akhirnya berat badanmu turun. Celana jeans itu bisa kembali kamu pakai. Betapa bangga dan senangnya!

Nah sekarang coba ingat, apakah ini pernah terjadi padamu? Kemudian, setelah tujuan tercapai, apakah kamu terus melakukan hal yang sama, atau akhirnya pikiranmu bisa tenang lalu kembali ke kebiasaan yang lama?

Format untuk outcome-based goals adalah RRR (bukan film India epic yang harus kamu tonton di Netflix). Kepanjangannya adalah Rush, Reach, dan Rest. Kita buru-buru (rush) menuju tujuan yang kita tetapkan, bahkan bisa melakukan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kemudian akhirnya kita mencapai (reach) tujuan tersebut, dan merasakan betapa bahagia dan puasnya. Tapi setelah itu kita beristirahat (rest). Berhenti berlari dan bahkan mungkin terbawa kembali ke kondisi awal.

Untuk hal tertentu, tidak masalah apabila ini terjadi. Namun, kalau keinginan kita adalah mempertahankan hasil tertentu, maka akan lebih baik jika kita memiliki process goals. Memang lebih susah. Harus ada continuous efforts, usaha berkelanjutan yang tidak terbatas oleh waktu tertentu. Kalau ditanya mana yang kamu pilih, hasil atau proses, maka kamu harus jawab proses.

Dengan process goals, kita tetap memikirkan untuk menurunkan berat badan, misalnya. Bedanya, tidak ada titik penyelesaian. Bukan berarti kita terus menurunkan berat badan sampai badan kita bisa terbang kalau tertiup angin. Tapi kita lebih embrace proses mempertahankan kebiasaan hidup sehat. Bagaimana caranya menentukan process goals? Ada 3 langkah:

1. Pikirkan kamu mau jadi orang yang bagaimana

Ini mirip dengan teori James Clear mengenai identity-based habit. Pikiran kita harus jangka panjang, bukan hanya ke satu titik tertentu dalam waktu dekat kemudian selesai. Contohnya, ganti tujuan “ingin turun 10 kg” menjadi “ingin menjadi orang yang punya gaya hidup sehat.”

2. Pikirkan apa yang bisa mengganggu atau menjadi hambatan

Cobalah identifikasi, kira-kira apa halangan yang akan terjadi dan menghambat kita untuk berproses. Misal, apabila ingin menjadi orang dengan gaya hidup sehat, apa yang harus dilakukan misal teman kantor membelikan pentol dan gorengan untuk rapat? Apakah video Cipung di Tiktok menyebabkan tidur kita kurang dari 6 jam tiap malam? Analisis penyebab kegagalan kita di masa lalu.

3. Pikirkan apa yang harus terjadi atau harus diubah

Ada perbedaan antara menonton video orang berolahraga dengan benar-benar fitnes ke gym. Ada perbedaan antara menonton video 10 rekomendasi buku yang bisa mengubah hidupmu dengan benar-benar membaca buku. Rencanakan solusi untuk mencapai tujuan, menghindari hambatan, dan benar-benar lakukan (ini tentu hal tersulit).

Durmonski memberikan beberapa strategi yang bisa kita lakukan untuk membantu kita berpindah dari berencana melakukan ke benar-benar melakukan. Ia menamakannya process goals boosters.

  • Perubahan gradual: akan sulit untuk berganti atau berubah 180 derajat. Ada yang dinamakan microhabits. Apabila kamu tidak pernah berenang, akan sulit kalau kamu mau langsung menyeberangi Selat Sunda. Mulailah dari hal sederhana. Sebelum ikut marathon, cobalah jalan pagi atau lari keliling perumahan.
  • Kebiasaan/habit: semua yang dibahas ini sebenarnya mengarah ke kebiasaan. Dibanding berusaha menurunkan 10 kg berat badan, lebih baik berusaha rutin berolahraga, makan sehat, dan tidur teratur.
  • Menguatkan mental: seperti yang sudah dibahas, untuk bisa benar-benar mempertahankan process goals bukanlah hal yang mudah. Kesulitan pertama adalah proses transisi, misal dari yang sebelumnya tidak pernah berolahraga menjadi berolahraga rutin. Kemudian, kita juga harus bisa nyaman dan menerima apabila di awal-awal hasilnya tidak terlihat. “Impressive results rarely show quickly.” Kita harus sabar menunggu, dan terus berusaha. Itu sebabnya dibutuhkan ketangguhan mental.
  • Revisi: rencana yang kamu buat di awal belum tentu rencana yang terbaik. Bisa saja kamu ingin ke gym 5 hari dalam seminggu. Ternyata kondisi aktualnya tidak memungkinkan. Atau misal benar-benar menghindari kolesterol bukan hal yang feasible karena kamu suka sekali sate kambing. Tidak masalah jika kamu merevisi rencanamu di tengah jalan, yang penting adalah kamu terus berproses.
  • Tetap waras sambil tetap di jalurmu: Durmonski tidak menafikan bahwa 3 atau 5 langkah saja cukup untuk membuatmu berubah total. Ada banyak hal yang mungkin tidak bisa kita kontrol. Dalam perjalanannya, akan ada good days dan bad days, and it’s okay! Istirahat sejenak, kemudian lanjutkan kembali. Satu langkah kecil lebih berarti ketimbang diam di tempat atau malah mundur ke belakang.

Inti premis dari sebuah tujuan adalah ketika kita sudah sampai, kita tidak perlu berusaha mencapainya lagi. Namun itulah yang terkadang menjadi halangan kita untuk lebih baik atau mempertahankan hal baik. Setelah ini, di saat kamu memikirkan keinginan atau tujuan yang ingin kamu raih, coba nilai: apakah yang kamu inginkan itu hanya cukup sekali (sebuah outcome-based goal) atau kamu ingin hal yang lebih permanen (process goal). “The way you define your goal will define the way you live your life.

Seperti biasa, kalau kamu punya feedback untuk saya, silakan hubungi melalui email ini atau DM Twitter @jagadgp. Apabila kamu merasa tulisan-tulisan saya bisa memberikan manfaat, feel free untuk forward email ini atau merekomendasikan website Jagad Raya ke teman-teman kamu.

Have a nice weekend!

Jagad

📖 Buku

Barking Up The Wrong Tree oleh Eric Barker. Sudah lama saya tidak lanjut menulis series buku Barker di website. Buat kamu yang belum membaca rangkuman saya, saya sudah pernah menulis bab 1 di sini dan bab 2 di sini. Untuk bukunya sendiri, saya sudah membaca hingga bab 6. Setelah ini tinggal bagian konklusi, yang artinya hampir selesai semua.

Beberapa waktu ke depan, saya akan kembali merangkumkan bukunya untukmu. Bab 3 sendiri mempertanyakan soal apakah ‘quitters’ atau orang yang mudah menyerah tidak pernah menang dan apakah pemenang itu tidak pernah menyerah (‘Do quitters never win and winners never quit?’). Di bab ini, Barker membahas soal pasukan Navy SEALs, tentang video games, tentang pernikahan yang dijodohkan, serta tentang Batman. Apa hubungannya? Tunggu tulisan saya ya!

🎥 Film/Series

Saya menonton ulang dua series favorit saya, yaitu Breaking Bad dan Bojack Horseman. Kalau kamu belum pernah menonton, Breaking Bad menceritakan tentang seorang guru kimia yang terkena kanker. Ia kemudian bekerjasama dengan mantan muridnya untuk membuat narkoba jenis meth atau sabu-sabu sehingga bisa meninggalkan uang untuk istrinya yang hamil dan anaknya yang menderita sakit.

Bojack Horseman adalah kartun dengan cerita yang jauh lebih bagus dibanding kebanyakan series non-kartun lain, yaitu tentang manusia kuda yang berusaha mengembalikan ketenarannya saat menjadi artis terkenal di tahun 90-an.

Yang saya baru sadari setelah menonton ulang adalah, semua red flag yang dimiliki Walter White dan Bojack sebenarnya sudah bisa dilihat dari episode-episode awal. Seiring berjalannya cerita, sifat buruk mereka bertambah parah dan akhirnya dengan sengaja atau tidak melukai orang-orang terdekatnya.

Buat kamu yang memiliki akun Netflix boleh coba menonton, paling tidak 1 season dahulu. Saya sudah menonton banyak sekali film dan series. Yang banyak orang katakan bagus, seperti GoT atau Friends atau yang lainnya, itu pun sudah saya tonton. Jadi perkataan saya bahwa BB dan BH adalah salah dua dari series terbaik yang pernah ada itu bukan tanpa alasan 😉.

🗞️ Artikel

Mechanical Watch oleh Bartosz Ciechanowski. Saya pertama kali memiliki jam mekanikal di tahun 2023 kemarin. Sebuah jam Omega Geneve automatic produksi tahun 1970-an yang cantik berwarna biru, setelah sebelumnya membeli Omega De Ville manual berwarna hitam (saya berikan ke adik saya sebagai hadiah ulang tahun).

Jam mekanikal, baik manual maupun automatic, adalah jam yang digerakkan bukan dengan baterai (quartz), melainkan mekanisme mainspring. Artikel yang dibuat oleh Ciechanowski menggambarkan secara detail dan jelas cara kerja masing-masing komponen di dalam jam mekanikal, disertai gambar interaktif yang bisa kita atur.

Saya tidak ingin membahas terlalu panjang soal ini. Tapi di era yang serba digital, era smartwatch, memang sebuah fenomena yang aneh kalau jam mekanikal harganya bisa jauh lebih tinggi (walaupun yaa tergantung merk jamnya juga). Padahal jam mekanikal tidak bisa menghitung langkah kaki atau denyut nadi. Jam mekanikal juga tidak bisa memberi notifikasi apabila ada telepon atau chat yang masuk.

Artikel ini bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana mekanisme di dalam sebuah jam mekanikal, bisa membuatnya berfungsi hingga puluhan tahun. Mungkin tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa ada seni tersendiri yang diciptakan oleh seorang watchmaker.

Suatu saat nanti, saya berkeinginan untuk mengoleksi jam tangan. Omega, Cartier, (mungkin) Rolex, dan (semoga bisa) Audemars Piguet. Mohon doanya ya! 😁

💭 Quote

“Mitch, if you’re trying to show off for people at the top, forget it. They will look down at you anyhow. And if you’re trying to show off for people at the bottom, forget it. They will only envy you. Status will get you nowhere. Only an open heart will allow you to float equally between everyone.”

Mitch Albom, Tuesdays With Morrie