When Breath Becomes Air

Apa yang membuat hidup layak dijalani saat menghadapi kematian? Apa yang kamu lakukan ketika masa depan bukan lagi seperti tangga yang mengantar pada tujuan hidup, namun menjadi rata tanpa arah?

When Breath Becomes Air
Photo by Olga Guryanova / Unsplash

Pada usia tiga puluh enam tahun, di ambang menyelesaikan pelatihan selama satu dekade sebagai ahli bedah saraf, Paul Kalanithi didiagnosis menderita kanker paru-paru stadium IV.  Satu hari ia adalah seorang dokter yang merawat orang yang sekarat, lalu di hari berikutnya menjadi pasien yang berjuang untuk hidup. Dalam waktu sekejap, masa depan yang ia dan istrinya bayangkan menguap begitu saja.

⚡ Buku ini dalam 3 kalimat

  1. Pengalaman hidup Paul Kalanithi dari kecil hingga menjadi seorang dokter bedah syaraf
  2. Pandangan humanis Paul terhadap pasien-pasiennya, pencarian jawaban atas pertanyaan apakah arti kehidupan dari perspektif seorang dokter bedah
  3. Perubahan drastis rutinitas dan mimpi Paul setelah didiagnosa mengidap kanker paru-paru

🎭 Kesan

Salah satu hal yang paling saya ingat adalah bagaimana Paul menceritakan, di sekolah kedokterannya, ia melihat teman-temannya memilih spesialisasi area berdasarkan gaji yang tinggi, jam kerja yang normal, serta pressure yang rendah. Namun ia memilih bedah saraf karena itulah yang banyak dibutuhkan serta bisa menolong banyak orang.

Lalu ia juga menceritakan bagaimana rasanya saat operasinya gagal. Bagaimana ia harus menemui keluarga pasien, bagaimana bisa menyampaikan fakta dengan empatis, bagaimana ia memikirkan apa yang dirasakan oleh orangtua dan keluarga pasien yang baru saja meninggal. Di dunia kedokteran, kepintaran saja tidak cukup. Kepintaran harus dibarengi dengan moralitas dan rasa empati.

Terakhir adalah apa yang ia rasakan dan pikirkan ketika ia terkena kanker paru-paru. Pentingnya dukungan keluarga dan teman-teman di fase terendah dalam hidup, serta keputusannya untuk kemudian memiliki anak dengan istrinya.

Buku ini diakhiri dengan epilog dari Lucy Kalanithi, istri Paul, yang meninggalkan kesan mendalam untuk saya. Menjadi seorang pekerja keras, suami dan bapak yang baik, serta seorang yang peduli untuk terus membantu sesama, sehingga bahkan ketika sudah tidak ada lagi di dunia ini pun kebaikan dan cintanya tetap terasa.

🧘🏾Bagaimana buku ini mempengaruhi saya

  • Saya sadar bahwa hidup bisa berubah 180 derajat dalam sekejap. Kita mungkin menyangka bisa merencanakan hidup dengan pasti. Tapi kadang tanpa persiapan, sesuatu datang dan perjalanan kita berganti arah
  • Sangat penting untuk memiliki passion terhadap sesuatu. Hidup kita dibentuk dari bagaimana kita mengejar dan menjalankan apa yang kita nikmati
  • Di balik itu semua, kita akan kembali kepada keluarga serta orang-orang yang kita cintai. Bulan-bulan terakhir dalam hidup Paul, ia berfokus untuk menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya
  • Paul, dalam buku ini, membagikan pandangannya terhadap kematian melalui perspektif sebagai dokter dan pasien. Kita bisa mencoba mengerti apa yang benar-benar penting dalam hidup serta membantu kita menghadapi kematian yang tidak bisa dihindari

📝 Top 3 Quotes

  • You can’t ever reach perfection, but you can believe in an asymptote toward which you are ceaselessly striving” - Kamu tidak akan pernah bisa mencapai kesempurnaan, tetapi kamu bisa percaya pada garis asimtot yang tiada hentinya kamu perjuangkan
  • The cost of my dedication to succeed was high, and the ineluctable failures brought me nearly unbearable guilt. Those burdens are what make medicine holy and wholly impossible: in taking up another’s cross, one must sometimes get crushed by the weight” - Harga dedikasi saya untuk sukses mahal, dan kegagalan membawa rasa bersalah yang tak tertahankan. Beban-beban itulah yang membuat ilmu kesehatan terasa suci sekaligus tidak mungkin: dalam memikul salib orang lain, terkadang seseorang harus remuk oleh bebannya
  • “I would have to learn to live in a different way, seeing death as an imposing itinerant visitor, but knowing that even if I’m dying, until I actually die, I am still living” - Saya harus belajar untuk hidup dengan cara yang berbeda, melihat kematian sebagai tamu penting yang pasti datang, tapi juga sadar bahwa bahkan di saat saya sekarat, sampai saya benar-benar mati, saya masih hidup
💡
Suka dengan post ini? Kamu bisa mendaftar ke email newsletter yang akan saya kirimkan tiap minggunya. Isinya adalah rekomendasi buku yang sedang saya baca, beberapa link artikel menarik, video atau lagu yang saya temukan di minggu itu, serta quote yang berkesan.